Terlalu Lurus untuk Jadi Bengkok: Ketika Penyandang Disabilitas Berani Punya Hasrat

Svasti
7 min readSep 16, 2024

--

“Sebagai kelahiran 1979, aku bukanlah perempuan muda. … Aku haid pertama kali usia 19 tahun. Jangan-jangan, pada momen aku keluar dari standar kehidupan orang biasa, kurva pertumbuhanku melengkung seperti huruf S seperti tulang belakangku.” — Si Bengkok, Ichikawa Saou.

Asaka Yuuho, seorang aktivis hak-hak penyandang disabilitas dari Jepang, berpidato dalam Konferensi Internasional PBB tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir tahun 1996. Dari sederet pembahasan konferensinya, seperti (1) Pertumbuhan populasi global, (2) Migrasi dan urbanisasi, (3) Pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, dan (4) Isu-isu terkait penyandang disabilitas dalam konteks kependudukan dan pembangunan; pidato Yuuho berfokus pada hak reproduksi perempuan penyandang disabilitas yang sering kali terabaikan dalam diskusi-diskusi tentang hak reproduksi secara umum.

Shaka, seorang perempuan yatim piatu kaya raya dalam novela “Si Bengkok” yang memiliki serangkaian identitas online rahasia. Ia menulis fiksi erotis, twit-twit provokatif tentang seks dan disabilitas. Shaka bereksperimen dengan hasrat-hasrat yang tidak lazim dijangkau bagi seorang perempuan disabilitas seperti dirinya.

Sebagian besar waktu Shaka dihabiskan di apartemen studio pusat rehabilitasi warisan keluarganya yang kaya raya. Ia bergantung pada ventilator akibat tulang belakangnya berbentuk S. Kendati dirinya merupakan seorang mahasiswa, ia hanya rutin dikunjungi oleh pekerja perawatan (caregiver). Sesekali Shaka juga makan di ruang komunal untuk menyaksikan kehidupan orang “normal” di sekitarnya.

“Cita-citaku adalah mengandung anak dan aborsi sebagaimana perempuan pada umumnya.” — Si Bengkok, Ichikawa Saou.

Poin-poin menarik dari pidato Asaaka Yuuho tahun 1996 adalah:

  1. Urgensi kebijakan dan program yang inklusif guna memastikan perempuan difabel untuk menikmati hak reproduksi mereka sepenuhnya.
  2. Menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan difabel dalam konteks seksualitas beserta reproduksi.
  3. Menyuarakan tantangan khusus yang dihadapi perempuan difabel dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi.

Pidato Asaka berperan penting dalam meningkatkan kesadaran publik tentang Undang-Undang Jepang “Act for Eliminating Discrimination against Persons with Disabilities” yang diberlakukan tahun 2016. Asaka adalah satu-satunya anggota penyandang disabilitas dari NGO (Non Governmental Organization) Jepang Women and Health Network yang menghadiri konferensi tersebut.

Photo by MART PRODUCTION

Keunggulan dan Kritik Undang-Undang Disabilitas Jepang

Sebagai upaya mematuhi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, UU Disabilitas Jepang yang disahkan tahun 2013 memerlukan waktu sampai 2016 untuk diberlakukan penuh. Undang-Undang ini mendefinisikan disabilitas secara luas, mencakup disabilitas fisik, intelektual, mental, dan kondisi kesehatan lainnya.

Meski tidak setua American with Disabilities Act (ADA) yang sudah disahkan sejak 1990 dan mengalami amandemen signifikan pada 2008 (ADA Amendments Act), UU Disabilitas Jepang memiliki pendekatan yang menurut saya lebih unggul, di antaranya

  1. UU Jepang menekankan dialog dan negosiasi antara penyandang disabilitas dan penyedia layanan. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat mendapat pemahaman komprehensif dan solusi yang lebih sesuai dengan kebutuhan individu. Sementara itu, ADA Amerika Serikat cenderung lebih bergantung pada litigasi yang dapat menciptakan hubungan adversarial (bertentangan) nan kurang fleksibel dalam mencari solusi.
  2. UU Jepang mengeksplisitkan bahwa disabilitas bukan hanya masalah kondisi medis, tetapi juga hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya. UU ini mengakui bahwa hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas sering kali berasal dari lingkungan dan sikap masyarakat, bukan hanya kondisi fisik. ADA Amerika Serikat masih cenderung berfokus pada model medis disabilitas.
  3. Karena implementasinya di Jepang dilakukan secara bertahap, pengembangan lingkungan inklusifnya tercipta secara alami melalui konsep desain universal. ADA Amerika Serikat yang penerapannya langsung menyeluruh secara cepat seringkali gagap menghadapi resistensi.

“Aku benci museum, perpustakaan, dan bangunan bersejarah yang dilestarikan. … Aku dongkol kepada benda-benda berharga yang bisa menua tanpa harus rusak. Semakin lama hidup, semakin tubuhku bengkok dan rusak. Tubuhku tidak hancur karena aku mati. Aku rusak justru karena hidup. Tubuhku merupakan bukti akan waktu hidup yang kujalani bersama kehancuran.” — Si Bengkok, Ichikawa Saou.

Sebagaimana Undang-Undang yang terus bertumbuh bersama warga negaranya, UU Disabilitas Jepang juga menuai banyak kritik — beberapa di antaranya bisa ditemui ketika membaca “Si Bengkok”, yaitu

  1. Hanya mendorong sektor swasta untuk menyediakan akomodasi yang wajar, dengan kata lain tidak menjadikannya wajib. Akibatnya, ketimpangan sektor swasta dan publik terasa kurang efektif bagi keberlangsungan hidup penyandang disabilitas. Lebih-lebih, pelanggaran yang terjadi pun hanya dikenai mediasi, alih-alih sanksi tegas. Konsekuensi hukum yang signifikan berpotensi mengurangi insentif kepatuhan.
  2. Pendekatan bertahap untuk aksesibilitas fisik dapat memperlambat proses perbaikan infrastruktur sehingga ada risiko penundaan.

“Berarti boleh dong, kalau aku sebagai perempuan difabel bercita-cita untuk hamil demi bisa menggugurkan kandungan? Kan demi menyeimbangkan keadaan.” — Si Bengkok, Ichikawa Saou.

Menantang Persepsi Kekuasaan dan Privilese

Shaka menyadari statusnya sebagai orang luar. Berbeda. Sikap sinisnya dengan bangga menyebut dirinya ‘monster’. Ini adalah hal yang menarik karena sebagaimana monster pada umumnya, ia punya kekuatan yang tidak dimiliki orang lain. Ichikawa Saou menolak menggambarkan Shaka sebagai manusia yang tidak memiliki agensi (kemampuan untuk bertindak). Ichikawa menantang asumsi umum. Shaka adalah perempuan yang progresif atas idenya. Lalu saya jadi teringat dengan “Kiku’s Prayer” yang ditulis oleh Shūsaku Endō tahun 2012. Novel ini berlatar sejarah penganiayaan orang Kristen Jepang abad ke-19 di mana ada seorang tokoh laki-laki disabilitas bernama Seikichi. Seikichi dinarasikan sebagai seorang disabilitas yang sangat bergantung pada orang lain.

Pusat rehabilitasi warisan orang tua Shaka menjadi saksi hubungan platoniknya dengan Tanaka, seorang pekerja perawatan (caregiver) yang mengetahui identitas onlinenya. Alih-alih merasa terancam, hal ini justru dimanfaatkan Shaka untuk merealisasikan fantasinya yang selama ini terpendam. Interaksi antara Shaka dan Tanaka digambarkan dengan cara yang tidak lazim, lebih-lebih dalam konteks seorang disabilitas dan non-disabilitas.

Dengan status ekonomi mereka yang berbeda memunculkan pertanyaan lebih lanjut tentang privilese dan relativitas kekuasaan. Ada dua spektrum yang saling bersebrangan. Tanaka berlatar belakang ekonomi kurang beruntung dan berjuang dengan keterbatasan finansial. Shaka dibesarkan dalam keluarga berada di mana semuanya serba tercukupi dengan peluang dan sumber daya yang luas. Jangan lupakan juga bahwa Shaka memiliki kekuatan intelektual yang lebih signifikan.

Terjemahan Dewi Anggraeni membuat saya benar-benar bisa merasakan ketegangan antar kedua tokoh ini. Dialog-dialognya tajam, dramatis, dan frontal. Kekuasaan dapat berpindah dan berubah bentuk dalam interaksi antara Shaka — Tanaka tergantung persepsi si pembaca.

Situasi yang digambarkan dengan presisi oleh Dewi Anggraeni membuat saya merenungi konsep-konsep ‘mapan’ tentang kekuasaan, privilese, agensi. Karena novela ini berangkat dengan premis yang jarang kita temui di karya-karya lain, saya pikir menerjemahkannya pun sedikit-banyak membuat sinting.

Kompleksitas Kritik Interseksional

Kutipan-kutipan erotisme yang ditulis Shaka terkadang membuat saya gelisah. Struktur narasinya kompleks karena berkutat pada pikiran Shaka dan perasaannya terhadap keterbatasan fisiknya. Ia memiliki pergulatan yang kuat atas identitas dan hasratnya dan dituturkan dengan provokatif. Meskipun terasa mengganggu, pikiran Shaka adalah sarana memperdalam empati kita pada kelas sosial, kemampuan fisik, dan agensi personal seseorang yang terpinggirkan (marjinal). Jadi, elemen-elemen erotis ini tak hanya pajangan sensasional saja, tapi pemicu kritik bagi kita yang mungkin tidak sadar telah mengabaikan atau meminggirkan kebutuhan & keinginan penyandang disabilitas. Saya rasa, pemaknaan kata demi kata yang saya maknai dalam “Si Bengkok” tentu saja berkat kontribusi besar Dewi Anggraeni sebagai penerjemah.

Melalui Shaka, Ichikawa juga menyelipkan kritik praktik industri penerbitan yang bersentral pada pencetakan buku-buku fisik sambil mengabaikan potensi dan aksesibilitas format elektronik.

“Aku benci buku kertas! Aku benci kejantanan budaya membaca yang menuntut seseorang memenuhi lima syarat kesehatan: mata yang bisa melihat, tangan yang dapat memegang, jari yang mahir membalik halaman, badan yang sanggup mempertahankan posisi membaca, dan kaki yang mampu melangkah bebas ke toko buku.” — Si Bengkok, Ichikawa Saou.

Dokumentasi Pribadi Gita Swasti

Novela ini hanya setebal 90 halaman. Bisa-bisa saja dibaca dalam sekali duduk. Namun, saya berhenti di lembar kedelapan karena merasa belum nyaman. Mengambil jarak sejenak sambil berpikir, “Oh, ternyata begini ya isinya. Berlapis-lapis konfliknya. Baik, besok lagi, Gita.”

Pengalaman membacanya menjadi semakin seru karena pekerjaan saya juga bergelut pada edukasi kaum marjinal. Sedikit banyak memahami Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia dari sisi kelemahan implementasi antar daerah beserta hak-hak penyandang disabilitasnya. Menelusuri ulang profil Pendidikan Inklusif yang digagas Kemendikbud Indonesia juga saya lakukan di tengah-tengah membaca “Si Bengkok”. Saya memanfaatkan rasa ingin tahu ini sembari atur napas membaca lembar demi lembar novelanya dengan cara meneliti Undang-Undang Jepang “Act for Eliminating Discrimination against Persons with Disabilities”. Saya juga turut menyisir American with Disabilities Act (ADA) yang dianggap sebagai regulasi tertua dalam hal penanganan akomodasi disabilitas.

“Si Bengkok” selesai dengan rasa haru. Terharu dengan eksistensi Shaka yang penuh determinasi. Terharu karena betapa jalan ini panjang — melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Melihat kesadaran publik yang masih belum menyeluruh akibat akumulasi dari stigma-stigma subjektif, ya, rasanya masih sulit, tapi mari tetap gantungkan harapan baik itu lekat-lekat di hati kita.

Sebagai penutup, “Si Bengkok” menunjukkan bahwa keberanian mengekspresikan hasrat tidak terbatas pada mereka yang dianggap “lurus” atau “normal” oleh masyarakat. Justru mereka yang “bengkok” atau “tidak normal” kerap diabaikan dan distigmatisasi ternyata memiliki kekuatan untuk mendobrak pintu kamar tidur masyarakat. Mereka justru lebih resolutif dalam mengklaim hak mereka atas hasrat dan keintiman.

“Si Bengkok” menjadi pengingat kuat bahwa kemanusiaan tidak dapat diukur dengan standar yang kaku dan linear.

Rumah, 16 September 2024.

Deskripsi Novela Si Bengkok

Novela debut Ichikawa Saou, “Si Bengkok” meraih penghargaan sastra Akutagawa ke-169. Penghargaan Sastra Akutagawa adalah salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang yang didirikan tahun 1935 untuk menghormati penulis Ryūnosuke Akutagawa. Penghargaan ini dihelat dua kali setahun kepada penulis cerpen dan novela. Kemenangan Ichikawa Saou dalam penghargaan Akutagawa menandai momen penting representasi penulis penyandang disabilitas di arena sastra Jepang.

Penulis: Ichikawa Saou
Penerjemah: Dewi Anggraeni
Tebal: vi+ 90 halaman
Ukuran: 13 × 19 cm
Diterbitkan oleh
Penerbit Anagram
https://www.goodreads.com/book/show/215698563-si-bengkok

--

--

Svasti
Svasti

Written by Svasti

A parade of sobrierity. Indonesian.

No responses yet