Surat dari Praha : Antara Sejarah, Musik dan Cinta

Svasti
3 min readFeb 10, 2016

--

Sebenarnya ada beberapa film yang saya incar di bulan Januari — Februari ini. Siti, Surat dari Praha, A Copy of My Mind, dan The Revenant adalah film-fiilm yang sudah saya lacak keberadaannya di tahun 2015. Empat film diatas menjadi makanan sehari-hari di timeline selama dua bulan ini dan saya cukup penasaran seperti apa kisahnya. Akhirnya pilihan saya jatuh di Surat dari Praha. Alasannya karena saya rindu pada Tio Pakusadewo, aktor hebat yang saya kenal melalui ibu saya. Kata beliau, Tio pandai sekali berakting meskipun karakternya di layar kaca selalu menjadi orang yang menjengkelkan. Sepertinya di film ini dia juga tampil dengan menjengkelkan.

Kalau melihat deretan pemain yang tampil di film ini, saya teringat dengan FIlosofi Kopi yang rilis April 2015. Ya, di Surat dari Praha kita bisa melihat Julie Estelle, Rio Dewanto, dan Chicco Jerikho beradu peran dalam satu layar. Film dengan genre drama ini rilis pada tanggal 28 Januari 2016. Saya baru kesampaian nonton filmnya tanggal 4 Februari dan bioskopnya masih penuh.

FIlm ini menceritakan tentang Larasati (Julie Estelle) yang pergi ke Praha untuk mengembalikan sebuah kotak berisi surat-surat kepada Mahdi Jayasri (Tio Pakusadewo) demi memenuhi wasiat ibunya, Sulastri (Widyawati). Larasati yang saat itu sedang butuh uang untuk bercerai dengan suaminya, Chicco Jerikho berusaha memenuhi wasiat ibunya demi mendapatkan seluruh harta warisan ibunya.

Pertemuan Laras dengan Jaya lantas mengantarkan Laras untuk melihat masa lalu antara Jaya dengan Sulastri. Jaya adalah pelajar Indonesia di Praha yang tidak bisa kembali akibat perubahan situasi politik di Indonesia pada tahun 1966. Keadaan Jaya yang tak bisa pulang ke Indonesia membuat ia batal bertunangan dengan Sulastri, sampai Sulastri menikah dengan pria lain dan melahirkan putri tunggal bernama Kemala Dahayu Larasati. Konflik antara Jaya dan Laras mulai muncul saat Jaya tak mau menandatangai tanda terima surat itu. Laras mulai menuduh Jaya sebagai penyebab ketidakharmonisan hubungannya dengan Sulastri karena selalu mengirimikan surat kepada Sulastri meskipun Sulastri tak pernah membalas surat itu.

Sejarah bisa melahirkan inspirasi dari seorang Angga Dwimas Sasongko untuk menghasilkan sebuah karya. Melalui Surat dari Praha, kita bisa mempelajari sebuah sejarah secara sederhana dan berhasil membuat saya merenung tentang pergolakan politik kala itu. Dengan sentuhan musik Glenn Fredly yang mampu memberikan energi di film ini, perlahan-lahan titik terang mulai muncul diantara Laras dan Jaya untuk saling memaafkan atas apa yang terjadi di masa lalu.

Saya berusaha untuk merekam setiap dialog yang mereka ucapkan. Terasa sederhana, penuh cinta tapi tidak murahan. Kemampuan Angga dalam mengekplorasi hal-hal kecil menjadi bermakna dan penuh emosi merupakan salah satu kekaguman saya di semua filmnya. Meskipun sebagian besar film ini berlatar belakang Praha, tapi tidak semata-mata ‘menjual’ keindahan Praha saja. Nyawa film ini terletak pada dialog yang diucapkan. Oh iya, Angga Sasongko juga menyambahkan alunan suara “Tanah Air Beta” yang dinyanyikan oleh Jaya dan teman-temannya. Melalui sorot mata Jaya, saya bisa merasakan kepedihan yang dirasakan oleh Jaya setelah bertemu dengan Larasati. Akting Tio Pakusadewo selalu memukau siapa saja yang ingin melihatnya. Karena saking terbuainya dengan rasa sakit hati yang dialami oleh Jaya membuat saya berkali-kali mendengarkan Sabda Rindu oleh Tio Pakusadewo.

Saya berjanji pada ibumu 2 hal, yaitu:
1. Kembali ke Indonesia dan menikahi ibumu
2. Mencintai ibumu selamanya

Ternyata, Tuhan mengizinkan saya untuk menepati yang kedua saja — Mahdi Jayasri

Bagian terbaik menurut saya adalah disaat Jaya membaca surat balasan Sulastri. Masa lalu, tidak akan pernah dibeli dan diganti dengan apapun karena sesuatu yang sudah berlalu tidak dapat diubah. Terima kasih Angga Sasongko, karena telah membuat bioskop Indonesia semakin berwarna. Benar-benar film yang bisa dinikmati siapa saja karena bukan picisan semata. Semoga kita bisa menikmati sejarah negeri kita sendiri dengan cara yang semakin nikmat.

Semarang, 7 Februari 2016

Originally published at gitaswasti.com.

--

--