Saya baru saja membaca tulisan blog seorang kawan di laman Twitter. Tulisannya cukup reflektif. Mengingatkan saya bahwa sudah lama tidak menulis untuk diri sendiri.
Tiga bulan terakhir bagaikan roller coaster. Ini perkara pekerjaan, ya. Membesarkan sebuah proyek yang benar-benar dilihat detil-detilnya, dari hulu ke hilir. I give my all! Kemampuan detail-oriented yang pernah saya gaungkan ketika berprofesi menjadi auditor, kini kembali membayangi dengan cara yang berbeda. Saya terkekeh sendiri ketika pimpinan perusahaan tempat saya bekerja mengirimkan sebuah teks “Gita, gunakan keterampilan auditormu untuk menyisir setiap hal yang diminta [klien]. Pastikan setiap hal yang diminta, sudah dijawab atau dijelaskan di proposal.” Wah, kemampuan saya sebagai auditor ternyata masih berguna di sini. Sebuah perusahaan yang jelas-jelas kontras sekali industrinya dengan tempat sebelumnya.
Hari ini pula, saya berkesempatan mengisi sesi Friday Faedah di kantor. Friday Faedah adalah ritual dua mingguan yang berisi sesi ceramah tentang apa saja yang berguna. Acara ini informal. Dibalut dengan ice-breaking dan denda sekian rupiah jika terlambat. Intinya, untuk sesi Friday Faedah ini, saya benar-benar ingin fokus menyimak saja. Tidak ingin didistraksi oleh tenggat pekerjaan atau lainnya.
Kembali pada sesi Friday Faedah yang saya bawakan, kali ini temanya adalah How To Forget 10,000 Hours’ Rule for Success. Materi Friday Faedah terinspirasi dari Range yang ditulis oleh David Eipstein. Pembahasannya adalah mengapa seorang yang pernah mencoba menjadi generalis lebih mampu ‘bertahan’ hidup dibandingkan yang tidak sama sekali. Hal ini membawa saya pada pemahaman bahwa ternyata orang-orang di kantor pun saat ini tengah menjadi generalis. Model bisnis perusahaan kami menuntut wawasan di segala lini industri. Meskipun tidak terlalu mendalam, setidaknya mental seorang peneliti harus melekat di antara kami. Inilah juga alasannya mengapa untuk kantor yang satu ini saya merasa lebih cair membicarakan bermacam-macam hal. Perkara remeh temeh, tren selebritas, makanan viral, sampai urusan-urusan berat. Titik kecocokannya semata-mata karena kami adalah para generalis. Hal ini pula yang membawa saya pada titik kenyamanan selanjutnya, menjadikan apa yang saya tekuni saat ini sebagai panggilan hati, bukan sekadar pekerjaan.
“Jadi, selama ini kamu bekerja bukan karena panggilan hati, ya, Git?”
“Sama-sama panggilan hati juga, tapi entah kenapa yang satu daya tariknya lebih kuat.”
Saya tidak perlu membanding-bandingkan jam lembur dengan kawan sedivisi. Saya tidak perlu iri dengan teman-teman, “Kok pekerjaanmu luang banget, sih. Ini lho, aku lembur melulu enggak pernah tenggo.” Ha ha ha, anehnya saya tidak pernah merasa demikian. Kalau mau kerja, ya lakukan saja. Kalau disuruh istirahat dan masih ada pekerjaan yang ingin saya selesaikan, apa boleh buat, saya akan mengabaikan orang tersebut.
Sebagai manusia biasa, tentulah saya merasa ingin ‘kabur’ sejenak. Pandemi membuat perasaan ini kian menjadi-jadi. Jelas, tidak sebebas dulu. Kalau di tahun-tahun sebelumnya saya bisa dengan impulsif memesan tiket pesawat ke suatu tempat, melihat kerumunan di bandara, sederet resiko di perjalanan beserta penambahan biaya tes antigen saja membuat saya urung. Akhirnya, keputusan yang diambil adalah membangun chemistry saja dengan orang-orang kantor. Mereka lah yang paling mengerti pekerjaan saya. Yang terjadi, tidak jarang saya keasyikan mengobrol dengan mereka di luar jam kerja. Berbekal Google Meet dan gurauan masing-masing, rasanya sudah seperti ‘kabur’ sejenak. Yang tak luput dari semuanya, saya menemukan support system di kantor. Saya memiliki figur pemimpin yang ideal, baik di level proyek dan organisasi. Saya memiliki peers yang bersedia memberikan segala perspektifnya. Saya bisa dengan mudah mengakui ketidakfasihan di hal-hal yang belum diketahui secara mendalam. Kami saling memberi umpan balik dengan pengertian. Sama sekali tidak ada prasangka buruk. Semuanya saling dukung saja. Friday Faedah adalah salah satu ritual kami yang mendekatkan satu sama lain. Ini menjadi pengalaman baru bagi saya untuk bergabung dalam sebuah perusahaan yang karyawannya tidak lebih dari 20 orang.
Apa yang saya peroleh sampai hari ini pun tidak lepas dengan budaya perusahaan, khususnya dengan proyek yang saya kerjaan. Alih-alih memikirkan performa masing-masing, kami justru semakin menelisik lebih dalam bagaimana caranya supaya bisa bertumbuh bersama. Hal ini senada dengan artikel yang pernah saya baca sebelumnya di Harvard Business Review.
Menyisir satu per satu, masing-masing dari kami optimal di bagian mana. Berproses bersama. Menihilkan insekuritas karena kami sama-sama berupaya.
Bersikap optimis akan keputusan yang kami ambil, meski jalan di depan masih terjal dan resikonya masih belum terukur.
Meski roller coaster yang saya naiki belum ingin berhenti.
Rumah, 7 Mei 2021.